Senin, 26 Maret 2012

Ternyata Logo Kepala Bonek Asli Arek Ngalam Ker!


Salah satu pahlawan kemerdekaan yang cukup dikenal di Lamongan yakni Kadet Soewoko. Dia dikenal dengan kisah perjuangannya yang sangat heroik ketika menghadapi agresi Belanda ke-II pada 1949.
Soewoko sebenarnya bukan asli Lamongan, tetapi kelahiran Desa Lumbangsari Kecamatan Krebet Malang pada 1928. Setelah lulus sekolah kadet di Malang, dia kemudian ditugaskan menjadi komandan regu I seksi I kompi I pasukan tamtama Kdm (Kodim) Lamongan.
Dia meninggal pada 9 Maret 1949 dalam suatu pertempuran yang sengit melawan tentara Belanda di wilayah Desa Gumantuk Kecamatan Sekaran. Berarti dia meninggal pada usia yang baru 21 tahun dan belum menikah.
Berdasarkan catatan sejarah Kodim 0812 Lamongan, kisah nyata yang heroik perjuangan Kadet Soewoko tersebut terjadi pada hari Minggu, 9 Maret 1949 menjelang siang. Ketika sedang beristirahat di sebuah langgar di Desa/Kecamatan Laren, regu Kadet Soewoko mendapat laporan penduduk kalau ada truk tentara Belanda yang terperosok di parit wilayah Desa Parengan (dulu masuk Kecamatan Sekaran, sekarang masuk Kecamatan Maduran). Truk tersebut mengangkut 12 serdadu Belanda.
Saat itu anggota regu Soewoko berjumlah delapan orang, namun hanya memiliki 7 senjata api peninggalan Jepang. Mereka kemudian sepakat akan menyerang tentara Belanda tersebut. Satu anggotanya bernama Soemarto ditinggal karena jumlah senjata hanya tujuh.
Regu Soewoko kemudian naik perahu dan menyusuri tangkis Bengawan Solo sebelah utara menuju lokasi serdadu Belanda yang kemudian diketahui dari pasukan gajah merah. Para Belanda tersebut melepas bajunya dan hanya memakai halsduk (kacu leher) warna merah.
Regu Soewoko kemudian merayap melewati kebun bengkowang mendekati lokasi Belanda yang berada di tempat terbuka di tengah sawah tersebut. Mereka sepakat akan menyerang dengan tembakan salvo kalau sudah sampai jarak tembak yang tepat.
Begitu mendekati sasaran tembak, tiba-tiba datang truk power wagon berisi penuh serdadu Belanda untuk membantu truk yang terperosok parit itu. Sehingga kekuatan Belanda menjadi berlipat sekitar 37 orang.
Meski kekuatan lawan berlipat, ternyata regu Soewoko tidak nyiut nyalinya. Mereka tetap melakukan serangan gencar. Beberapa serdadu Belanda langsung terjungkal ditembak regu Soewoko.
Serdadu Belanda panik dan melakukan perlawanan memakai senjata yang lebih lengkap dan modern. Regu Soewoko menjadi terdesak. Mereka kemudian berencana mundur. Tetapi upaya tersebut tidak bisa dilakukan, karena diam-diam sebagian serdadu Belanda melakukan taktik penghadangan dengan bergerak memutar ke belakang regu Soewoko. Merasa terkepung, Soewoko memutuskan menerobos kepungan musuh meuju Desa Gumantuk Kecamatan Sekaran.
Dua orang anggota regu berhasil menerobos kepungan musuh, satu orang pura-pura mati dan nahas bagi Soewoko yang tertembak kedua bahunya dan tergeletak tidak mampu melakukan perlawanan.
Beberapa serdadu Belanda kemudian mendekati dan menanyakan namanya dengan bentakan. Soewoko pada saat itu mengaku bernama Soewignyo. Dia kemudian diajak ikut ke pos Belanda di Sukodadi tetapi tidak mau. Dia bahkan berkata ”Saya tidak mau menyerah, bunuh saya..!. Serdadu Belanda marah, kemudian menusuk dada kiri Soewoko dan ditembak pipinya sehingga langsung gugur. Dia bersama tiga anggota regunya yang lain yang gugur dalam pertempuran itu langsung dimakamkan oleh warga setempat di desa itu tanpa dimandikan karena dinilai mati syahid. Adegan heroik itu disaksikan anggota regunya yang pura-pura meninggal. Jenazah Kadet Soewoko bersama tiga temannya tersebut kemudian dipindah ke taman makam pahlawan Kusuma Bangsa Lamongan.
Kisah heroik Kadet Soewoko tersebut kemudian diabadikan dengan dibangunnya patung Kadet Soewoko pada 1975 dan kata-katanya terakhir juga dipahatkan di patung tersebut. Patung itu terletak di pintu masuk Kota Lamongan sebelah timur. Salah satu jalan protokol di Kota Lamongan juga diberi nama Jalan Soewoko. ”Empat anggota regu Kadet Soewoko yang yang masih hidup, kemudian bertugas ke luar Lamongan, ada yang di Bandung, Jakarta, dan Malang,” kata Pasi Teritorial Kodim 0812 Lamongan, Kapten Arh GN Putu Ardana.
Wajah Kadet Soewoko ternyata kemudian juga menjadi inspirasi logo group suporter Bonekmania Persebaya Surabaya dan LA Mania Persela Lamongan. Kalau Bonekmania memakai ikat kepala, sedangkan untuk LA Mania memakai blangkon. ”Logo Bonekmania dan LA Mania tersebut dibuat oleh warga Lamongan bernama Ridwan, warga keset dekat patung Kadet Soewoko. Gambarnya sebagai pemenang dalam lomba pembuatan logo bonekmania yang digelar Jawa Pos sekitar 1986, begitu pula dengan LA Mania. Dia membuat gambar logo tersebut memakai inspirasi wajah patung Kadet Soewoko tersebut,” ungkap ketua LA Mania, Ainy Hidayat.
Dayat menambahkan, dulu setiap tahun digelar napak tilas Jadet Soewoko setiap menjelang 17 Agustus, tetapi sayang, sejak 1992 kegiatan tersebut tidak pernah digelar lagi.
So masih pantaskah bonek terus menerus mencela leluhurnya!!!!!
Wes, itreng gak?
Ayas oleh teko kanyab sumber……..
Salam Satoe Jiwa

10 Kiper terbaik Indonesia

10 Kiper Terbaik Indonesia

1. Maulwi Saelan (lahir di Makassar, Sulawesi Selatan, 8 Agustus 1928; umur 81 tahun) adalah salah satu pemain sepakbola legendaris, bermain di Olimpiade 1956 dan juga pejuang kemerdekaan Indonesia. Ia juga pernah menjadi salah satu ajudan pribadi presiden Soekarno. Selain itu ia dikenal juga sebagai pendiri Taman Siswa Makassar.
2. Ronny Paslah

Ronny Pasla (Medan, 15 April 1947 adalah mantan kiper Indonesia yang berkiprah sekitar tahun 1960’an – awal 1970. Ejaan namanya sering juga ditulis sebagai Ronny Paslah.punya julukan Macan Tutul.Prestasi Tim Nasional Indonesia* Timnas Indonesia, Juara Piala Agakhan di Bangladesh, 1967* Timnas Indonesia, Juara Merdeka Games, 1967* Timnas Indonesia, Peringkat III Saigon Cup, 1970* Timnas Indonesia, Juara Pesta Sukan Singapura, 1972


3.Yudo HadiantoYudo Hadianto (lahir di Solo, Jawa Tengah, 19 September 1941; umur 68 tahun) adalah salah satu pemain sepak bola legendaris Indonesia era 1960-an dan 1970-an. Pada masanya ia sempat diakui sebagi kiper terbaik Asia. Selain itu ia pernah kuliah di Fakultas Ekonomi UI periode 1960-1963 tetapi tidak selesai.

Tim Nasional (1961-1976)
* Juara Merdeka Games 1962, 1969, 1974 di Kuala Lumpur, Malaysia
* Juara King’s Cup 1968 di Bangkok, Thailand* Juara Aga Khan Cup 1970 di Bangladesh.

4.Hermansyah. Mantan Kiper Tim Nasional era 90 -an, membela klub Mastrans Bandung Raya, dan ikut memberikan gelar juara Liga Dunhill bagi klubnya. dikenal sebagai kiper tangguh, dan spesialis pemblok penalti.
courtesy of Hermansyah
Mantan Kiper Tim Nasional era 90 -an, membela klub Mastrans Bandung Raya, dan ikut memberikan gelar juara Liga Dunhill bagi klubnya. dikenal sebagai kiper tangguh, dan spesialis pemblok penalti. Soal urusan penalti, Hermansyah di timnas sempat dilatih oleh pelatih kiper Brazil, Barbatana.
Berikut catatan karir seorang Hermansyah :
Tim Nasional :
- Diklat Salatiga Th 1979-1982.
- PSSI Junior 1982;
- PSSI Garuda 1982 – 1985 ( Runner Up Kings Cup Bangkok)
- PSSI PPD Juara Sub Grup 3 A. Selangkah lagi Mewakili Asia Kejuaraan Dunia Di Mexico ( Wakilnya Korsel)
- PSSI Rajawali 1986. PSSI A 1987 ( TC Brasil 1 Bulan)
- PSSI Merdeka Games 1988- 1989.
Club :
- Pelita Jaya ( 1988-1990 Juara Galatama)
- Bandung Raya ( 1993- 1996 Juara Liga 1 dan Runner Up Liga Ke II ) – - Persikabo 1997
- Persikota 1998-20009 ( Pemain . Pelatih Keeper 2000-2004)
Coaching career :
- Pelatih Keeper Persija (2005-2006)
- Pelatih keeper Persebaya (2008)
- Pelatih Keeper Persidafon (2009-2010)
- Pelatih Keeper Persema (2010 Sampai Sekarang )
- Pelatih Keeper Nasional Asean Games 2003. ( Tc Di Antalya Turky 1 Bulan )
- Pelatih Keeper Olympik- U-23 )

5.Kurnia Sandy, Penerus Hermansyah di tim nasional. didikan PSSI Primavera, Kurnia Sandy juga pernah bergabung setahun dengan tim italia, Sampdoria, walau tak sempat bermain. pulang ke Indonesia, Kurnia Sandy memperkuat Pelita Jaya, Persik Kediri, Arema Malang, Persebaya Surabaya. seperti Hermansyah, Kurnia Sandy dikenal sebagai kiper yang memiliki kemampuan dan skill di atas rata – rata.



6. Listianto Raharjo salah satu nama yang sempat menjaga gawang Tim Nasional adalah Listianto Raharjo, tangguh dan cekatan dalam menjaga gawang adalah nilai plusnya.

7.Hendro Kartiko ,penjaga gawang tim nasional pasca era Kurnia Sandy. karirnya dimulai dari Persebaya Surabaya, Persija Jakarta, dan kini membela Sriwijaya FC. menyabet gelar kiper terbaik pada Piala Asia 2000, dan dijuluki “Indonesian Fabien Barthez”.
8.Jendri Pitoym pasca era Hendro Kartiko, Jendri Pitoy sempat mengisi posisi penjaga gawang tim nasional, penjaga gawang Persipura Jayapura ini juga dikenal pandai membaca arah bola dan tangguh.
9.Markus Horison ,namanya mencuat kala membela PSMS Medan, Kiper yang kini bermain untuk Arema Malang ini, dikenal tangguh dalam bola – bola atas. salah satu penampilannya yang terbaik adalah ketika Piala Asia 2007 di Jakarta, walau akhirnya Indonesia kalah 0-1, penampilannya mengundang decak kagum, sampai saat ini Markus Horison, yang sekarang telah menjadi muslim, dan merubah nama menjadi Markus Haris Maulana, menjadi pilihan utama di tim nasional senior.
10.Sumardi
Last but not Least, Sumardi layak diberi gelar salah satu kiper terbaik Indonesia, memperkuat Tim Nasional era 90-an, Sumardi dikenal dengan kesetiaannya membela klub PKT, oahun lalu Sumardi sempat memperkuat Deltras Sidoarjo, dan tahun ini kembali ke PKT yang berubah menjadi Bontang FC. sulit dibobol lawan, ciri khasnya adalah rambut kuncirnya.
yup itulah daftar kiper terbaik dalam pengamatan saya, kalo masih ada yang lain silahkan ditambah

Profil Kurnia Meiga Hermansyah



Nama Lengkap : Kurnia Meiga Hermansyah
Nama Panggilan : Entonk
Tanggal Lahir : 7 Mei 1990
Tempat Lahir : Jakarta
Negara : Indonesia
Tinggi Badan : 184 cm
Berat Badan : 75 kg
Posisi : Kiper
Nomor Punggung : 1
Tim : Arema Indonesia , Timnas Indonesia , Timnas U-23
Klub :
- PS Urakan
- Diklat Ragunan
- Persijap U-18
- Persijap U-23
- Arema Indonesia
Karir Junior :
- Persijap U-18
- Persijap U-23
Karir Senior :
- Arema Malang (2008-2009)
- Arema Indonesia (2009-2010)
- Arema Indonesia (2010- )
Tim Nasional :
- Indonesia U-19 (2008)
- Indonesia U-21 (2008)
- Indonesia U-23 (2009)
- Indonesia (2010)
Gelar :
- Juara Liga Super Indonesia 2009/2010 bersama Arema Indonesia
- Pemain Terbaik Liga Super Indonesia 2009/2010
- Runner Up Piala Indonesia 2009/2010 bersama Arema Indonesia

Profil Pierre Njanka

Nama Lengkap : Pierre Njanka Beyaka
Nama Panggilan : Papa
Tanggal Lahir : 15 Maret 1975
Tempat Lahir : Douala
Negara : Kamerun
Tinggi Badan : 181 cm
Posisi di Arema : Pemain Bertahan
Nomor Punggung di Arema : 24
Tim saat ini : Aceh United
Karir :
- Tigre Douala (1993)
- Rail Douala (1994)
- Olympic Mvolye (1995-1998)
- Neuchatel Xamax (1999)
- RC Strashbourg (2000-2003)
- CS Sedan Ardennes (2003-2005)
- FC IStres (2006)
- Stade Tunisien (2006)
- Club African (2007)
- Al-Wahda FC (2008)
- Persija Jakarta (2008-2009)
- Arema Indonesia (2009-2011)
Tim Nasional : Kamerun (1998-2004)
Gelar :
- Juara Liga Super Indonesia 2009/2010 bersama Arema Indonesia
- Runner Up Piala Indonesia 2010

Arema dan Nomor Keramatnya



Masalah mengeramatkan nomor punggung pemain dalam sebuah tim olahraga bukanlah sesuatu yang aneh. Di sepakbola kita mengenal AC Milan yang mempensiunkan nomor punggung 3 yang dipakai oleh Keluarga Maldini(Paolo dan Cesare Maldini) dan nomor punggung 6 yang dipakai Franco Baresi selama 20 tahun(1977-1997). Di Asia Tenggara klub seperti Hoang Anh Gia Lai(HAGL) mempensiunkan nomor punggung 13 yang pernah dipakai oleh legenda Thailand, Kiatisuk Senamuang. Sejauh ini HAGL adalah satu-satunya klub di Asia Tenggara yang mempensiunkan salah satu nomor punggung pemainnya dan tidak dipakai lagi oleh generasi pemain berikutnya.

Urusan mengeramatkan nomor punggung pemain, ternyata bukanlah mutlak digunakan di sepakbola saja. Di dunia basket seperti liga bola basket terglamour sedunia, NBA memiliki beberapa klub yang mempensiunkan nomor punggung satu atau bahkan beberapa pemainnya. Chicago Bulls misalnya, klub basket yang bermarkas di United Center ini bahkan mempensiunkan 4 nomor punggung dari kostum timnya. Yang paling terkenal adalah nomor punggung 23 milik legenda NBA, Michael Jordan dan 33 milik tandemnya selama aktif bermain dan menghasilkan dua three peat(sebutan bagi klub yang meraih tital juara NBA selama 3 musim kompetisi berturut-turut), Scottie Pippen.

Umumnya masalah nomor keramat dalam tim ini bukanlah urusan mudah. Selain dibutuhkan dedikasi sang pemain itu sendiri juga bergantung pada tradisi klub. Siapa pula yang meragukan dedikasi Paolo Maldini yang 25 tahun bermain di AC Milan dan tanpa sekalipun berpindah klub hingga akhirnya sang presiden klub yang juga Prime Minister Italia, Silvio Berlusconi sangat berterima kasih dengan dedikasi mantan kapten klubnya tersebut. Namun, jangan melupakan juga peran Raul Gonzales di Real Madrid sejak tahun 1994-2010 hingga Gary Neville, sisa-sisa dariClass Of 1992 dari Manchester United bersama Paul Scholes dan Ryan Giggs tak juga berujung pada anugerah pemensiunan nomor punggung yang kerap dipakainya.

Di Real Madrid sosok Raul Gonzales ibarat Pangeran di Santiago Bernabeu. Prestasi dari kompetisi lokal hingga internasional sudah pernah ia rasakan. Nomor punggung 7 yang begitu keramat di Real Madrid pun juga seperti ditahbiskan layaknya milik Raul Gonzales seorang. Tanpa mengurangi sedikitpun respek kepada klub sekaliber Real Madrid, untuk mempensiunkan nomor punggung yang pernah dipakai oleh pemain dibutuhkan juga aturan, tradisi dan momen-momen spesial yang melibatkan klub beserta komponennya.

Momen-momen itu terkadang bermakna decak kagum dan respek yang mendalam kepada penerima anugerah berupa nomor yang dipensiunkan tersebut. Otomatis pula sejak dipensiunkannya nomor punggung si pemain, dengan sendirinya nomor begitu begitu sakral dan tidak sembarangan untuk dipakai. Contohnya nomor punggung 3 di AC Milan yang didedikasikan untuk keluarga Maldini. Artinya, hanya keturunan dari keluarga Maldini yang berkiprah di klub tersebut yang bisa memakai nomor punggung 3. Lain dari itu tidak. Harap maklum saja 6 dari 7 titel Liga/Piala Champions diraih dengan bantuan Keluarga Maldini. Luar Biasa!

Sebaliknya pensakralan nomor punggung pemain dan mempensiunkannya nomor tersebut terkadang juga terjadi pada momen khusus. Seperti yang terjadi pada nomor punggung 23 di Manchester City. Klub rival sekota dari Manchester United ini mempensiunkannya sebagai bentuk penghormatan kepada Alm Marc Vivian Voe yang meninggalkan ketika melakoni Piala Konfederasi 2003 bersama Kamerun, Miklos Feher dengan nomor punggung 29 di Benfica(Portugal) dan Antonio Puerta dengan nomor punggung 16 yang bermain bersama tim Sevilla di Spanyol.

Meski klub seringkali mengeramatkan nomor-nomor tertentu yang ditujukan bagi penghargaan dari dedikasi pemain, namun ada juga nomor "tak lazim" namun beberapa waktu belakangan ini menjadi trend. Nomor 12 misalnya, klub-klub sepakbola di Jepang sebagian besar mengeramatkan nomor ini dan tidak ada satupun pemain yang menggunakannya. Nomor ini ditujukan kepada Suporter sebagai rasa terima kasih atas dukungan yang selama ini diberikan kepada tim. Suporter ini pula yang kerap disebut sebagai The Twelve Man. Selain banyak klub di dunia yang menggunakannya, di Indonesia klub Persija mendedikasikan nomor punggung 12 kepada suporternya, The Jakmania. Sayangnya di Indonesia kerapkali nomor punggung 12 dikonotasikan sebagai bagian dari trio pemain ke 12-14 yang ditujukan oleh perangkat pertandingan(wasit dan 2 hakim garisnya). Biasanya kerap dilontarkan oleh klub yang merasa dirugikan oleh korps baju hitam setelah menyelesaikan pertandingan sepakbola.

Bicara mengenai Arema, memang seluruh stakeholder Arema tidak pernah mengungkap secara eksplisit mengenai nomor keramat. Namun meski secara resmi Arema tidak pernah mengungkapkannya, ada beberapa fakta menarik tentang nomor-nomor legendaris yang berkaitan di dalam tim Arema diantaranya :

2
Beberapa pemain Arema yang pernah menggunakan nomor ini pernah dicap sebagai "pemain nakal namun cerdik". Beberapa diantaranya adalah Kuncoro, pemain asli Malang yang menempa ilmu dari SSB Kakimas dan terakhir kali bermain di Arema pada musim 2001 bersama Ahmad Junaedi, Bamidelle Frank Bob Manuel, dll. Kuncoro selama bermain di Arema kerapkali menggunakan tackling hingga sikutan didalam merebut bola. Kerapkali tindakan yang dilakukan Kuncoro bisa lolos dari pengamatan wasit dan hakim garisnya. Namun sepandai-pandainya tupai melompat dan akhirnya jatuh juga, sekali dua waktu Kuncoro kepergok juga dan tidak jarang mendapat hukuman dari wasit berupa kartu kuning hingga kartu merah! Satu pemain lagi yang pernah mendapatkan julukan serupa adalah Alex Pulalo yang bermain di Arema sejak 2005-2009. Alex yang pernah menjadi kapten Arema pernah mendapat sebutan sebagai pemain "nakal". Meski tidak "sekasar" Kuncoro, Alex Pulalo kerapkali melancarkan tackling yang berujung pada hukuman kartu dari pengadil lapangan. Dengan tinggi badan yang dibawah 172cm Alex Pulalo memiliki akselerasi dan kecepatan yang mumpuni dan dapat diandalkan. Kehadirannya bersama Erol Iba di sektor sayap kerap membahayakan pertahanan pemain lawan. Dari sektor sayap ini pula seringkali terlahir skema penyerangan Arema yang berujung gol. Pendeknya baik Alex Pulalo maupun Kuncoro kehadirannya seakan memberikan ancaman bagi pemain lawan, Jangan Remehkan Arema Bung!

3
Saat ini nomor punggung 3 di skuad Arema arahan Miroslav Janu ditempati oleh Zulkifli. Tapi tahukah Anda jika nomor ini kerapkali membawa hoki pemain yang membawanya. Dua pemain yang pernah memakai nomor punggung ini diantaranya adalah Aji Santoso dan Erol Iba. Aji Santoso memperkuat tim Arema sejak tahun 1987-1995 dan dilanjut pada tahun 2002-2004. Sedangkan Erol Iba menggunakannya sejak tahun 2004-2006. Kesamaan diantara 3 pemain diatas adalah sama-sama pernah merasakan gelar juara bersama Arema(Aji Santoso dengan Liga Galatama 1992/1993, Erol Iba mendapat Juara Divisi I 2004, dan Copa Indonesia 2005, 2006 serta Zulkifli dengan gelar ISL 2009/2010). Ketiga pemain tersebut juga merasakan pertama kali memperkuat Timnas Senior Indonesia setelah sebelumnya memperkuat Arema bersama nomor punggung 3 tersebut. Satu perbedaan yang menonjol adalah baik Aji Santoso dan Erol Iba pernah "berkhianat" dengan menyeberang ke seteru Arema, Persik dan Persebaya. Tentu saja Aremania sendiri tidak akan mengharapkan Zulkifli mengikuti jejak seniornya tersebut.

4
Musim ini nomor punggung 4 jarang ditampilkan ketika Tim Arema melakukan kickoff pertandingan. Di dalam sejarah Arema, pemain yang bernomor punggung 4 biasanya berposisi sebagai stopper atau bek tengah. Salah satu pemain diantaranya adalah Charis Yulianto. Pemain yang pernah bermain bagi klub PSM Makassar, Persib Bandung, Persija Jakarta dan Sriwijaya FC pertama kali mengawali karir professionalnya bersama Arema. Musim pertama Charis Yulianto bersama Arema adalah ketika menjadi debutan sukses dimusim 1996/1997 setelah sebelumnya menjadi bagian dari proyek Timnas PSSI Baretti bersama Trimur Vedayanto, Aris Indarto, dkk. Total Charis membela Arema selama 6 musim dan turut serta mengantarkan Arema ke babak 8 besar Divisi Utama selama tiga kali beruturut-turut di tahun 2000-2002 serta 12 besar Divisi Utama di tahun 1996/1997 di Ujung Pandang(kini Makassar). Charis Yulianto terakhir kali bermain bersama Arema di musim kompetisi 2002, dan oleh pelatih Daniel Rukito didapuk sebagai kapten tim.

7
Saat ini Benny Wahyudi menjadi tulang punggung tim Arema sebagai bek sayap dan menggunakan nomor punggung 7 ini. Selain ada Benny, ada beberapa pemain legendaris lain yang pernah memperkuat Arema, Mecky Tata dan Ahmad Junaedi. Mecky Tata mengantarkan Arema menjadi kampiun Galatama 1992/1993 dan runner up Piala Liga 1992. Sementara itu prestasi individunya bersama Arema terjadi pada Liga Galatama 1988/1989 dan berhasil meraih gelar top scorer Galatama dengan torehan 19 gol yang menyamai penyerang Bandung Raya, Dadang Kurnia. Sejak memperkuat Arema Mecky Tata sudah pernah merasakan duet dengan beberapa penyerang Arema seperti Joko Susilo, Singgih Pitono, Nelson Leon Sanchez, dll. Mecky Tata mengakhiri kiprahnya bersama Arema di musim kompetisi Liga Indonesia V 1999. Berbeda dengan Mecky Tata yang sudah pensiun dan menjalani karir kepelatihan, Ahmad Junaedi masih aktif di dunia sepakbola dan membela Persipro Probolinggo di Divisi Utama. Barangkali karena memang Ahmad Junaedi sendiri asli dari Probolinggo meski sudah melalang buana di pentas sepakbola Indonesia bersama PKT Bontang, Persebaya, Persema dan Arema Malang. Karir Ahmad Junaedi di Arema hanya berlangsung setahun dan sempat menorehkan kenangan manis berupa torehan 15 golnya dan membantu Arema ke babak 8 besar Liga Indonesia VII di Makassar. Akhir karir Ahmad Junaedi berlangsung pahit. Ia bergabung dengan klub seteru Aremania dan Arema yaitu Persebaya dengan nilai transfer 125-175juta rupiah(ketika itu kontrak Ahmad Junaedi baru menyisakan durasi sekitar setahun).

8
Dominggus Nowenik dan Nanang Supriadi adalah dua diantara pemain legenda yang pernah memperkuat Arema dan memakai nomor punggung 8. Jika Dominggus pernah mendapatkan titel juara di event Galatama, sebaliknya Nanang Supriadi harus berpuas diri dengan titel Juara Divisi I tahun 2004. Namun perjuangan Nanang bersama Arema tidaklah cukup sampai disitu. Lebih dari 10 musim bersama Arema, Nanang yang lama tinggal di Jl Sumpil di Kota Malang 3 kali mengantarkan Arema ke babak 8 besar Divisi Utama dan sekali di babak 12 besar pada tahun 1997. Tak cukup sampai disitu Nanang pernah membuat hat trick gol kala Arema melakoni laga kandang di Divisi 1 pada tahun 2004. Sesuatu yang jarang dilakukan oleh pemain Arema yang berposisi sebagai gelandang tentunya.

9
Nomor 9 di berbagai belahan dunia identik dengan striker. Begitu pula di Arema yang terdapat beberapa pemain yang selalu berada di depan barisan depan. Meski di Arema terdapat Panus Korwa yang memakai nomor punggung 9 dan berposisi sebagai gelandang menyerang tapi sebagian besar pemain Arema bernomor punggung 9 berposisi sebagai striker. Jika sekarang ini terdapat Roman Chmelo, maka dekade lampau terdapat juga nama seperti Joko Susilo, meski sempat beralih ke nomor punggung 10. Peran Joko Susilo di Arema tidak dapat dipandang sebelah mata. Bersama Nanang Supriadi turut mengisi barisan pemain muda Arema. Dari kiprah Joko Susilo di era Liga Indonesia bersama Arema, praktis hanya di musim 1997/1998 saja ia absen membela Arema karena bergabung bersama Persija Jakarta. Namun di musim berikutnya ia kembali bersama Arema dan setahun kemudian mengantarkan Arema ke babak 8 besar Liga Indonesia selama 3 musim berturut-turut. Joko Susilo kini menjadi asisten pelatih Arema sejak tahun 2007 dan turut mengantarkan tim U-18 Arema ke tangga juara Piala Suratin tahun 2007 bersama trio pelatih Yanuar Hermansyah dan Alm Setyo Budiarto.

11
Nomor 11 di Arema kerapkali dipandang memiliki kontribusi penting di Arema. Jika sekarang nomor ini dipakai Tommy Pranata, beberapa tahun lalu pemain yang memakai nomor ini seringkali dijadikan pujaan oleh suporternya, termasuk Aremania. Dua diantara pemakai nomor ini adalah Jonathan dan Johan Prasetyo. Jonathan adalah pemain asli didikan klub amatir Satria yang notabene anggota kompetisi internal Persema, sedangkan Johan Prasetyo meski bergabung selama semusim di tahun 2002 yang dilatih Daniel Rukito berasal dari Diklat Salatiga bersama Suswanto. Diklat Salatiga sendiri seringkali melahirkan pemain berbakat di Indonesia, misalnya Bambang Pamungkas. Jonathan sendiri berposisi sebagai kiri luar Arema atau sekarang kadang disebut sebagai pemain sayap kiri. Jonathan juga turut membantu Arema untuk melaju sampai babak 12 besar Piala Champions Asia 1993/1994. Sementara Johan Prasetyo sendiri berhasil mencetak 14 gol selama memperkuat Arema dan membantu Singo Edan untuk maju ke Babak 8 besar di Gresik.

14
Siapa yang tak kenal I Putu Gede? Pemain yang awalnya membela Mitra Surabaya sepebelum bergabung dengan Arema ini pernah begitu dekat dengan Malang dan Aremania-nya. Selain memiliki tempat tinggal yang dekat dengan wilayah Mangliawan di pinggiran Malang, I Putu Gede total menghabiskan lebih dari 5 musim di Arema dan sempat menjadi kapten tim pada tahun 2004-2006. Sayang kiprah I Putu Gede tidak semanis kelihatannya, meski semasa di Arema menjadi pujaan Aremania dan lihai mengatur lini tengah Arema bersama Firman Utina, Anthony Jommah Ballah atau Joao Carlos. Sama dengan Ahmad Junaedi selepas mengundurkan diri jelang persiapan Liga Indonesia XIII ia "membelot" dan memperkuat Persebaya di musim berikutnya. Uniknya sama dengan Ahmad Junaedi seakan mendapat kutukan, klub yang dibelanya tersebut mendadak jeblok prestasinya karena konflik internal dan terjerembab degradasi. Kini bersama Ahmad Junaedi, I Putu Gede membela Persipro Probolinggo.

16
Salah seorang pemain hebat Arema yang pernah memakai nomor kostum ini adalah Singgih Pitono. Ia ditemukan manajemen Arema Indonesia di akhir dasawarsa 80-an setelah blusukan ke Tulungagung untuk mencari bakat terpendam guna ditampilkan di ajang Galatama. Singgih Pitono 2 kali menjadi top skorer Galatama yaitu pada Galatama XI tahun 1991/1992 dengan torehan 21 gol, Galatama XII tahun 1992/1993 dengan 16 gol. Selain itu ia mampu menempatkan diri sebagai top skorer tim pada Liga Indonesia I di tahun 1994/1995 dengan 14 gol. Dengan perolehan tersebut maka layaklah Singgih Pitono dianugerahi "award" sebagai penyerang/striker terbaik yang dimiliki oleh Arema Indonesia. Singgih Pitono hadir di bumi Arema dan memperkuat tim yang diidolai hampir penggemar sepakbola di seantero Malang selama lebih dari 7 tahun. Kiprah terakhir Singgih Pitono bersama Arema Indonesia adalah pada Liga Indonesia II 1995/1996. Selepas membela Arema, Singgih Pitono sempat memperkuat Pusam Samarinda selama beberapa musim dengan salah satu partnernya di Arema sekaligus "mantan musuhnya" dulu, Lulut Kistono(Fyi, ketika memperkuat Arema, Singgih Pitono pernah mendapatkan skorsing 1 tahun ketika mengikuti Galatama edisi terakhir, 1993/1994 akibat perkelahian yang diprovokatori terlebih dahulu oleh Doyok, panggilan akrab Lulut Kistono).

17
Tribute kepada Alm Setyo Budiarto. Meski hanya sekitar 6 tahun membela Arema namun kita tak mudah melupakan jasanya. Setyo Budiarto mulai bermain di Arema bersamaan dengan masuknya Charis Yulianto sebagai pemain muda yang sebelumnya bergabung bersama Timnas PSSI Baretti. Diantara kiprah Alm Setyo Budiarto tersebut salah satu prestasi fenomenalnya adalah ia menjadi tumpuan beberapa pelatih Arema untuk menguasai sektor lini tengah. Praktis mulai dari era kepelatihan Suharno, Winarto, M. Basri, Daniel Rukito hingga Gusnul Yakin Setyo Budiarto bagu membahu bersama pemain tengah Arema lainnya seperti Kuncoro, I Putu Gede, Nanang Supriadi, dan bantuan pemain sayap seperti Miftachul Huda, Wawan Widiantoro hingga Khusnul Yuli. Karir Setyo Budiarto bersama Arema berakhir pada akhir tahun 2003 ketika Almarhum bersama Joko Susilo memutuskan pensiun. Selepas pensiun Setyo Budiarto tidak serta merta meninggalkan Arema. Bersama Joko Susilo dan eks kiper Arema, Yanuar "Begal" Hermansyah dan komando dari manajer Arema U-18 Ekoyono Hartono turut memperoleh gelar Piala Suratin 2007 setelah menyelesaikan pertandingan final di Stadion Bea Cukai Rawamangun melawan Persimuba dari Musi Banyuasin.

Sebenarnya masih banyak nomor-nomor keramat lain di Arema yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu disini. Sebut saja nomor satu yang langganan para kiper seperti Nanang Hidayat, Agung Prasetyo hingga era Kurnia Meiga sekarang ini. Bahkan di era Galatama dan awal Liga Indonesia nomor punggung untuk kiper Arema adalah 1, 20 dan 21. Selain itu terdapar juga nomor punggung 15 seperti yang dipakai oleh mantan Kapten Arema Sunardi C dan Firman Utina yang sekarang membela Sriwijaya FC. Nomor 24 juga jadi langganan pemain yang "diidolai"oleh Aremania seperti Juan Rubio dan Pierre Njanka, Nelson Leon Sanchez pun ketika berkostum Arema memakai nomor kostum 30.

Dan tahukah Anda, ketika awal kali bermain di Arema Erol Iba tidak langsung mendapatkan nomor punggung 3 yang menjadi nomor yang diidolainya. Setidaknya ia harus menunggu lungsuran nomor kostum 1+2 alias 12 sebelum Aji Santoso pensiun dari Arema. Namun diantara itu tetap tidak ada yang bisa mengalahkan nomor keramat 87. Nomor ini tidak hanya dipakai dikalangan Arema dan Aremania, misal sebagai bagian dari nama Korwil, website, blog, dan sebagainya namun juga identitas dari Arema secara keseluruhan. Angka 87 ini diambil dari kependekan tahun kelahiran Arema 1987. Kehadiran angka 87 ini juga terdapat di dalam stadion dan digunakan sebagai "hukum Arema" untuk mencegah aksi anarkis dan brutal ketika terdapat pertandingan sepakbola, terutama ketika Arema bermain. Pendeknya angka 87 ini melambangkan peranan positif didalam membangun Arema dan Aremania itu sendiri. Semoga.

Arema fantasi jersey


Sejarah Rivalitas Aremania Bonek

Kemajuan persepakbolaan nasional tentu harus diikuti oleh komunitas suporter yang menjadi basis pendukung sebuah klub sepakbola. Karena adalah sebuah omong kosong apabila sebuah klub sepakbola itu mampu bertahan tanpa dukungan suporter yang ada dibelakangnya. Tetapi sayangnya sudah menjadi rahasia umum bahwasanya persepakbolaan Indonesia dikenal akan kerusuhan dan permainan yang menjurus kasar. Kerusuhan demi kerusuhan, entah itu akibat ketidakdewasaan suporter atau provokasi ofisial pertandingan kepada suporter menjadi cerita lama dalam dunia persepakbolaan Indonesia. Konflik Jakarta-Bandung, Semarang-Jepara, Jogja-Solo, dan Malang-Surabaya menjadi cerita pasti mengenai aroma panas dalam konflik suporter di Indonesia.

Belum dewasanya suporter di Indonesia tentu menjadi penghambat bagi pengembangan profesionalitas klub-klub di Indonesia. Aksi anarkis yang dilakukan oleh oknum suporter menjadi salah satu faktor lambatnya pengembangan profesionalitas klub Indonesia. Belajar dari kasus rasisme Aremania beberapa saat yang lalu tentu menjadi sebuah pelajaran berharga bagi seluruh elemen suporter yang ada. Kerugian sebesar hampir 1 miliar rupiah bagi Arema tentu menjadi sebuah permasalahan tersendiri. Arema yang merupakan klub profesional tanpa dukungan dana APBD tentu kesulitan membayar gaji pemain dan lainnya. Padahal skala permasalahan baru sekitar denda dan hukuman, belum pada level anarkisme tingkat tinggi seperti perusakan stadion dan beberapa fasilitas, kerusuhan antar-suporter, hingga aksi-aksi kejahatan yang melibatkan komunitas suporter.

Salah satu pertarungan suporter yang paling sering disorot oleh media massa adalah rivalitas Aremania dan Bonek. Dua elemen suporter dari Arema Indonesia dan Persebaya Surabaya ini memiliki tensi rivalitas yang sangat tinggi, dimana perseteruan antar kedua elemen suporter ini tak jarang berakhir dengan bentrokan, kerusuhan, kerusakan material, hingga jatuhnya korban jiwa. Ekspresi saling benci keduanya juga tertumpah ketika mendukung kesebelasan masing-masing, walaupun yang dihadapi adalah tim sepakbola selain Arema Indonesia atau Persebaya Surabaya.

Konflik Aremania melawan Bonek sudah menjadi cerita lama dalam diskusi antar-suporter di Indonesia. Pertarungan yang sudah mendarah-daging dalam kedua elemen suporter tersebut menjadi bumbu pedas dalam forum antar-suporter. Walaupun belum ada yang pernah memfilmkannya layaknya film Romeo-Juliet, tetapi aroma panas selalu terasa dalam kehidupan sehari-hari warga Malang dan Surabaya. Tidak jarang ditemui di rumah seorang Aremania segala atribut Bonek menjadi kain lap, sementara di Surabaya segala atribut Aremania menjadi keset.

Aroma panas kedua elemen ini tentu menarik untuk dikaji dan diteliti lebih lanjut, karena sifat persaingannya yang begitu kental dan sudah mendarah-daging. Belum lagi pembentukan iklim sepakbola Indonesia ke arah modern tentu harus mewaspadai satu hal yang kini masih menjadi kontroversi: industri sepakbola. Modernisasi sepakbola secara tidak langsung membawa dunia sepakbola ke arah industri, dimana pada akhirnya kapital juga ikut bermain dalam menentukan suasana dan atmosfir sebuah pertandingan. Bukan tidak mungkin beberapa peristiwa yang berkaitan dengan sepakbola Indonesia hari ini berkaitan erat dengan suasana pasar ekonomi.

Selain dari perspektif industri sepakbola, tentu konflik-konflik yang timbul juga tidak luput dari permasalah sosial dan budaya dalam sebuah masyarakat. Masalah hegemoni dan pengakuan akan ‘the one and the best’ juga menjadi salah satu permasalah konflik suporter Indonesia. Persoalan chauvinisme dan fanatisme dalam sebuah masyarkat juga tidak dapat dihilangkan sebagai faktor-faktor pemicu konflik. Belum lagi soal dendam yang berasal dari peristiwa yang terjadi sebelumnya. Begitu banyak permasalahan yang timbul dalam masyarakat sehingga terbawa dalam kancah sepakbola membuat stadion masih belum menjadi tempat yang nyaman dalam menikmati pertandingan sepakbola.

Dengan mempelajari proses historis perseteruan kedua kelompok suporter ini diharapkan adanya pembelajaran serta solusi agar konflik-konflik yang terbangun menjadi sportif dan tidak anarkis. Pengkajian akan sebuah konflik dengan memandang dari perspektif sosiologi –dimana masyarakat dan kondisi kultural akan menjadi objek yang dikaji– diharapkan akan timbul sebuah mediasi entah itu berupa negoisasi atau yang lainnya. Dengan begitu posisi suporter sebagai sebuah pendukung klub akan terjadi hubungan timbal balik dengan klub yang didukung. Selain itu diharapkan pula perdamaian antar-suporter sepakbola yang ada di Indonesia dapat terjadi.


Sejarah Aremania dan Rivalitas dengan Bonek

Tahun 1988 lahirlah Yayasan Arema Fans Club (AFC) yang didirikan oleh Ir. Lucky Acub Zaenal. Yayasan ini hadir sebagai basis kelompok suporter dari Yayasan PS Arema yang didirikan setahun sebelumnya. Tahun pertama AFC berdiri dipimpin oleh Ir. Lucky Acub Zaenal dengan 13 korwil (koordinator wilayah) yang ada dibawahnya. Keberadaan AFC yang begitu formal dan eksklusif membuat kalangan suporter yang berasal dari kelas bawah tidak mampu menjangkau organisasi tersebut. AFC sendiri pada akhirnya belum mampu menciptakan kerukunan antar-suporter di Malang, sehingga harus dibubarkan pada tahun 1994.


Kondisi chaos dalam kota, dimana sering terjadi perselisihan antar-geng yang berlanjut ke dalam stadion membuat kota Malang menjadi sepi di kala Arema bertanding. Banyak toko-toko dan warung-warung tutup, bahkan hingga mengunci pintu dan jendela. Beberapa narasumber bahkan menceritakan bahwa ketika itu seorang suporter membawa batu, pentungan, dan golok adalah hal biasa . AFC yang belum mampu menyatukan elemen-elemen suporter yang ada di Malang akhirnya membubarkan diri. Menjelang bubarnya AFC, beberapa suporter sepakbola Malang berkumpul dan mendiskusikan mengenai Aremania. Beberapa nama seperti Handoko, Yuli Sumpil, Ovan Tobing, Leo Kailola, dan Lucky Acub Zaenal yang merupakan pentolan dari beberapa kelompok suporter PS Arema di Malang berkumpul dan mengambil keputusan bahwa Aremania didirikan dalam sebuah organisasi non-formal (tanpa bentuk) tetapi terus menjaga persatuan dan sportivitas. Sehingga sejak saat itu tidak ada ketua resmi dari Aremania.

Ketiadaan ketua bukan berarti menimbul perpecahan dalam Aremania. Kultur masyarakat Malang yang egaliter membangun kebersamaan dalam ketiadaan struktur organisasi tersebut. Prinsip “sama rata, sama rasa, satu jiwa” yang dimiliki oleh warga Malang menjadikan Aremania menjadi kelompok suporter yang memiliki kekompakan dan persatuan yang kuat. Rasa egaliter pula yang membuat Aremania kompak dan mudah dikendalikan oleh Yuli dan Kepet, dirigen Aremania saat ini.

Titik balik Aremania terjadi pada tahun 1993, pasca PS Arema menjuarai kompetisi Galatama PSSI. PS Arema yang pada tahun-tahun sebelumnya belum memiliki begitu banyak pendukung, mendapatkan perpindahan pendukung begitu banyak dari Ngalamania. Kedewasaan arek Malang akan dampak negatif dari anarkisme membawa dampak positif bagi perjalanan Aremania selanjutnya. Aremania lalu mempelopori untuk selalu hadir mengawal pertandingan Arema di kandang lawan. Dimulai dari Cimahi pada tanggal 31 Mei 1995, Aremania selalu mengikuti kemanapun Arema pergi dan mendukung sembari menularkan virus suporter damai kepada elemen-elemen suporter lawan.

Bulan Mei 1996 Aremania berani untuk melakukan lawatan ke stadion ‘musuh abadi’ untuk mendukung Arema dan menularkan virus perdamaian ke Bonek yang menjadi elemen suporter Persebaya. Aremania datang dengan pengawalan dari DANDIM Kota Malang pada pertandingan yang disaksikan oleh para petinggi PSSI dan gubernur Jawa Timur, dimana mereka menunjukkan eksistensi perdamaian yang dibawanya. Stadion Tambaksari yang dikenal ‘biadab’ karena jarangnya suporter lawan yang berani memasuki stadion tersebut akibat tekanan, intimidasi, kerusuhan, dan provokasi Bonek menjadi saksi eksistensi Aremania .


Rivalitas Malang Surabaya
Berbicara masalah persaingan dan rivalitas dua elemen suporter di Jawa Timur ini, maka kita tidak dapat mengesampingkan sejarah dan kultur sosial masyarakat masing-masing kota. Malang yang secara demografis adalah sebuah kota yang ada di pinggiran gunung, dimana pembangunan-pembangunan yang dilakukan sejak pemerintahan kolonial Hindia Belanda hingga zaman Orde Baru membawa kemajuan yang sangat pesat bagi kota ini. Kemajuan yang membuat masyarakatnya merasa mampu untuk menyaingi kota metropolitin sekelas Surabaya. Surabaya yang selalu dianggap ‘number one’ dalam berbagai kondisi membuat masyarakat Malang tidak terima dan menganggap arek Suroboyo adalah saingan utama mereka. Dalam tataran propinsi misalnya, dimana Malang merupakan kota kedua setelah Surabaya. Hal ini memicu kecemburuan sosial yang sangat tinggi oleh arek Malang terhadap arek Suroboyo .

Kondisi ‘tidak mau kalah’ ini membuat suhu konflik Malang-Surabaya begitu panas. Begitu juga dengan sepakbola, dimana suporter asal Malang selalu berusaha menyaingi suporter asal Surabaya. Arek Suroboyo sudah lama memiliki sifat bondho nekat, dimana pernah mereka aplikasikan dalam upaya melawan tentara sekutu dalam pertempuran 10 November 1945. Sifat bondho nekat yang masih menjadi kultur masyarakat Surabaya modern juga terbawa dalam sepakbola. Pada akhirnya, bondho nekat ini menjadikan suporter Surabaya saat itu terkesan brutal dan anarkis, seperti halnya Hooligans di daratan Eropa.

John Psipolatis pernah menyinggung akan perbedaan ‘suporter brutal’ dan ‘hooligan’ dalam kajiannya tentang sepakbola Indonesia. Ia menyatakan bahwa untuk di Indonesia lebih sesuai dengan sebutan ‘suporter brutal’, karena mereka datang ke stadion untuk menikmati pertandingan dan sesudahnya membuat onar. Sementara ‘hooligan’ belum pantas disandang oleh suporter di Indonesia karena Hooligan datang dengan niat untuk membuat kerusuhan tanpa menikmati pertandingan sepakbola.

Konflik dalam hal sepakbola dimulai sejak tahun 1967, dimana terjadi kerusuhan dalam pertandingan Liga Perserikatan antara Persebaya Surabaya melawan Persema Malang di Surabaya. Kondisi ini dibalas oleh arek-arek Malang dalam pertandingan Persema Malang melawan Persebaya Surabaya di Malang. Akhirnya, konflik suporter yang merupakan pertarungan geng Malang-Surabaya ini terus berlanjut pada tahun 70’an. Periode 80’an menjadi puncak ketegangan antara Bonek dan Ngalamania, dimana tahun 1984 terjadi ‘Perang Badar’ antara Ngalamania dengan Bonek. Peperangan yang terjadi antara Arek Malang dan Arek Suroboyo itu membuat Presiden Soeharto kala itu menyikapinya dengan ucapan “kalau sepakbola membuat persatuan hancur, lebih baik tidak usah”.

Rivalitas Bonek – Aremania
Berdirinya Armada 86 hingga berevolusi menjadi PS Arema pada tahun 1987 membuat konflik semakin memanas. Dalam kompetisi Perserikatan, Persema dan Persebaya sudah memanaskan suhu konflik antar-suporter di Jawa Timur. Dengan hadirnya Arema yang mengikuti kompetisi Galatama, suhu itu kian memanas dengan rivalitas Arema dan Niac Mitra Surabaya. Semifinal Galatama tahun 1992 yang mempertandingkan PS Arema Malang melawan PS Semen Padang di stadion Tambaksari Surabaya menghadirkan awalan baru sejarah konflik Aremania-Bonek. Arek Malang (saat itu belum bernama Aremania) membuat ulah di Stasiun Gubeng pasca kekalahan Arema Malang dari Semen Padang. Kapolda Jatim saat itu akhirnya mengangkut mereka dalam 6 gerbong kereta api untuk menghindari kerusuhan dengan Bonek.

Kejadian di Stasiun Gubeng itu membuat panas Bonek yang ada di Surabaya. Tindakan balasan mereka lakukan dengan mencegat dan menyerang rombongan Aremania pada akhir tahun 1993 saat akan melawat ke Gresik. Peristiwa ini dibalas oleh Aremania pada tahun 1996 dengan melakukan lawatan ke Stadion Tambaksari dengan pengawalan ketat DANDIM. Keberanian Aremania untuk hadir di Stadion Tambaksari kala pertandingan Persebaya melawan Arema saat itu telah membuat Bonek tidak bisa berbuat apa-apa dan harus menahan amarah mereka dengan cara menghina Aremania lewat kata-kata saja. Hal ini karena pertandingan tersebut disaksikan oleh para petinggi PSSI dan gubernur Jawa Timur saat itu, serta pengawalan ketat DANDIM kota Malang terhadap Aremania. Bagi Aremania, hal ini sudah sangat mempermalukan Bonek dengan datang langsung ke jantung pertahanan lawan sembari menunjukkan kesantunan Aremania dalam mendukung tim kesayangan. Semenjak itulah tidak ada kata damai dari Bonek kepada Aremania, dan Aremania sendiri juga menyatakan siap untuk melayani Bonek dengan kekerasan sekalipun.

Kejadian ini dibalas oleh Bonek di Jakarta pada tahun 1998. Tanggal 2 Mei 1998 dimana Aremania akan hadir dalam pertandingan Persikab Bandung vs Arema Malang, Aremania yang baru turun dari kereta di Stasiun Jakarta Pasarsenen diserang oleh puluhan Bonek. Ketika itu rombongan Aremania yang berjumlah puluhan orang menaiki bus AC yang sudah disiapkan oleh Korwil Aremania Batavia. Di tengah jalan, belum jauh dari Stasiun Pasarsenen tiba-tiba bus yang ditumpangi Aremania dihujani batuan oleh Bonek. Untuk menghindari jatuhnya korban, rombongan Aremania langsung turun dari bus untuk melawan Bonek yang menyerang mereka. Bahkan Aremania sampai mengejar-ngejar Bonek yang ada di Stasiun Pasarsenen. Tindakan Aremania ini mendapat applaus dari warga setempat, sehingga Bonek harus mundur meninggalkan area Stasiun Pasarsenen.

Kondisi rivalitas yang begitu panas antara Aremania dan Bonek membuat keduanya menandatangi nota kesepakatan bahwa masing-masing kelompok suporter tidak akan hadir ke kandang lawan dalam laga yang mempertemukan Arema dan Persebaya. Nota kesepakatan yang ditandatangani oleh Kapolda Jatim bersama kedua pemimpin kelompok suporter tersebut ditandatangani di Kantor Kepolisian Daerah Jawa Timur pada tahun 1999. Semenjak tahun 1999, maka kedua elemen suporter ini tidak pernah saling tandang dalam pertandingan yang mempertemukan kedua klub kesayangan masing-masing.

Tetapi nota kesepakatan itu tidak mampu meredam konflik keduanya. Tragedi Sidoarjo yang terjadi pada bulan Mei 2001 menunjukkan masih adanya permusuhan kedua elemen ini. Kala itu pertandingan antara tuan rumah Gelora Putra Delta (GPD) Sidoarjo melawan Arema Malang di Stadion Delta Sidoarjo dalam lanjutan Liga Indonesia VII. Karena dekatnya jarak Surabaya-Sidoarjo membuat sejumlah Bonek hadir dalam pertandingan tersebut. Menjelang pertandingan dimulai, batu-batu berterbangan dari luar stadion menyerang tribun yang diduduki oleh Aremania. Kondisi ini membuat Arema meminta kepada panpel untuk mengamankan wilayah luar stadion. Karena lemparan batu belum berhenti membuat Aremania turun ke lapangan, sementara di luar stadion justru terjadi gesekan antara Bonek dengan aparat. Turunnya Aremania ke lapangan pertandingan membuat pertandingan dibatalkan. Terdesaknya aparat keamanan yang kewalahan menghadapi Bonek membuat Aremania membantu aparat dengan memberikan lemparan balasan ke arah Bonek. Aremania pun harus dievakuasi keluar stadion dengan truk-truk dari kepolisian.

Kejadian rusuh yang berkaitan antara Aremania dengan Bonek masih berlanjut pada tahun 2006. Kekalahan Persebaya Surabaya atas Arema Malang di stadion Kanjuruhan dalam laga first leg Copa Indonesia membuat kecewa Bonek di Surabaya. Seminggu kemudian, kegagalan Persebaya Surabaya mengalahkan Arema Malang di stadion Gelora 10 November Tambaksari Surabaya membuat Bonek mengamuk. Laga yang berkesudahan 0-0 ini harus dihentikan pada menit ke-83 karena Bonek kecewa dengan kekalahan Persebaya dari Arema Malang. Kekecewaan ini mereka lampiaskan dengan merusak infrastruktur stadion, memecahi kaca stadion, dan merusak beberapa mobil dan kendaraan bermotor lain yang ada di luar stadion. ANTV yang menayangkan pertandingan tersebut meliputnya secara vulgar, bahkan berkali-kali menunjukkan gambar rekaman mengenai mobil ANTV yang dirusak oleh Bonek. Aremania menyikapi hal ini dengan menyerahkannya secara total kepada pihak berwajib dan PSSI.

Rivalitas keduanya tidak hanya hadir lewat kerusuhan dan peperangan, tetapi juga dengan nyanyian-nyanyian saat mendukung tim kesayangannya. Bonekmania, di kala pertandingan Persebaya melawan tim manapun, pasti akan menyanyikan lagu-lagu yang menghina Arema dan Aremania. Lagu-lagu yang menyebutkan Arewaria, Arema Banci, Singo-ne dadi Kucing, dan beberapa lagu lain kerap mereka nyanyikan di Stadion Gelora 10 November Tambaksari Surabaya. Hal yang sama juga dilakukan oleh Aremania, dimana lagu-lagu anti-Bonek juga mereka kumandangkan kala Arema menghadapi tim lain di Stadion Kanjuruhan. Bahkan persitiwa terbaru adalah tersiarnya kabar mengenai dikepruknya mobil ber-plat N ketika malam tahun baru di Surabaya oleh pemuda berkaos hijau (oknum Bonek?).

Atmosfir Malang – Surabaya
Seperti yang ditulis oleh Feek Colombijn dalam View from The Periphery: Football in Indonesia, dimana ia menyebut bahwa dinamika suporter di Indonesia sangat dipengaruhi oleh kebudayaan Jawa. Kultur Jawa yang mengutamakan keselarasan dalam harga diri, dimana penolakan yang amat sangat terhadap hal yang bisa mempermalukan diri sendiri, menjadi faktor utama konflik antar suporter di Indonesia. Kultur Jawa yang menghindar dari konflik dan tidak mau dipermalukan menjadi semacam dari anti-thesis dari sepakbola yang harus siap sedia untuk dipermalukan. Tetapi kultur Jawa pula yang memicu reaksi apabila penghinaan itu terjadi di depan umum dan sangat memalukan, maka ekspresi kemarahan dan anarkisme yang muncul untuk menjaga wibawa dan harga diri.

Kondisi ini yang memicu atmosfir panas Malang–Surabaya. Geng pemuda asal Malang yang dibantai oleh Bonek di tahun 1967 memicu perasaan dendam dari Arek Malang. Belum lagi persoalan rivalitas “number one”, dimana dalam level propinsi posisi Malang masih dibawah Surabaya. Sifat tidak terima Arek Malang menjadi nomor dua dibawah Arek Suroboyo ini membuat keduanya susah berjabat tangan. Persaingan atas dasar pride ini berlanjut pasca melorotnya prestasi Persema Malang, dimana Arema mengambil alih posisi rivalitas Malang-Surabaya tersebut.

Pergulatan harga diri ini terlihat jelas ketika Aji Santoso pindah dari Arema ke Persebaya, akhirnya Aji Santoso pun dianggap pengkhianat oleh Aremania. Ketika Aji Santoso ingin kembali ke Malang, ia pun harus melalui begitu banyak tim sebelum akhirnya mengakhiri karirnya bersama Arema Malang. Ahmad Junaedi pun menjadi korban rivalitas Aremania-Bonek. Ketika Ahmad Junaedi sudah menjadi bintang sepakbola nasional dan dibeli Surabaya, maka ketika Persebaya menawarkan Ahmad Junaedi untuk kembali ke Arema pun ditolak oleh Aremania. Akhirnya Arema pun lebih memilih untuk mengasah bakat Johan Prasetyo daripada memakai tenaga Ahmad Junaedi . Dalam hal simbol pun tantangan kepada Bonek juga dikumandangkan. Dengan pemilihan simbol singa menunjukkan bahwa di belantara Jawa Timur Arema ingin menjadi nomor satu, diatas Ikan Sura dan Buaya.

Arema menjadi identitas resistensi daerah terhadap pusat (Surabaya) , dimana melalui dialek jawa timur dengan tatanan huruf yang dibalik pada osob kiwalan khas Malang seolah menunjukkan bahwa Arema menjadi identitas kultural masyarakat Malang. Selain itu Arema juga merupakan pemersatu warga kota Malang yang sebelumnya terpecah pada beberapa desa/wilayah/daerah. Arek Malang selalu berusaha membedakan dirinya dengan arek Suroboyo. Ketika arek Suroboyo itu bondho nekad, maka arek Malang itu bondho duwit. Ketika Bonek itu suka membuat kerusuhan, maka Aremania ingin menyebarkan virus perdamaian. Konflik identitas juga menjadi lahan rivalitas kedua kubu suporter besar Jawa Timur ini.


Kapitalisme Sepakbola
Secara disadari atau tidak, fanatisme dan pertarungan kedua elemen suporter ini menjadi makanan empuk bagi kapitalisme. Sepakbola boleh jadi hari ini tidak hanya berbicara masalah sportivitas dan kesehatan, tetapi juga merambah dalam dunia politik dan ekonomi. Industri sepakbola menjadi salah satu bisnis yang menguntungkan bagi pengusaha-pengusaha kelas kakap hari ini, tentu dengan syarat mereka bisa mengendalikan iklim sepakbola itu sendiri.

Dalam hal konflik suporter di Jawa Timur, boleh jadi media massa menjadi provokator dalam berbagai peristiwa persepakbolaan di Jawa Timur. Sebagai contoh Jawa Pos misalnya, dimana secara eksplisit menyatakan keberpihakannya kepada Persebaya Surabaya. Dapat dimaklumi sebenarnya apabila melihat kantor redaksi yang berada di Surabaya serta posisi penting para pengurus Jawa Pos dalam kepengurusan Persebaya Surabaya. Dalam beberapa tulisan yang ada, Jawa Pos selalu menampilkan porsi lebih kepada Persebaya, bahkan tidak jarang dukungan kepada Bonek selalu mereka tuliskan dalam berita-beritanya.

PT Bentoel Prima Tbk yang pernah mengakuisisi Arema juga merasakan betul dampak menguntungkan bisnis sepakbola yang mereka bangun. Walaupun menghadapi hambatan begitu banyak dari pesaingnya , tetapi secara materiil PT Bentoel Prima Tbk mengalami keuntungan yang begitu besar dari sekedar pasang tulisan bentoel-arema di kaos para pemain Arema.

Bisnis sepakbola inilah yang sedang menguasai persepakbolaan modern hari ini. Di belahan dunia manapun, modernisasi sepakbola diikuti dengan berkembang pesatnya industri sepakbola. Dalam buku How Soccer Explains The World: An Unlikely Theory of Globalization, Franklin Foer menuliskan bahwa virus globalisasi telah merasuk kian dalam ke dunia sepakbola, dan faktor pride (kebanggaan/fanatisme) menjadi faktor ekonomi yang sangat menguntungkan bagi para kapitalis-kapitalis besar.

Kesimpulan
Modernisasi dalam sepakbola secara tidak langsung diikuti oleh berkembangnya kapitalisme dalam ranah sepakbola. Seolah-olah menjadi kapitalis adalah syarat mutlak untuk mengembangkan sebuah persepakbolaan dalam negeri. Melihat realitas di lapangan, bukan tidak mungkin hal diatas benar adanya. Karena ketika mengembangkan sepakbola tanpa sokongan dana yang kuat tentu akan membuat sebuah badan, klub, atau kompetisi menjadi rontok. Hanya saja kekhawatiran muncul ketika suporter sepakbola dijadikan obyek untuk mengkapitalisasi sepakbola tadi, dimana pada akhirnya suporter sepakbola juga yang dipermasalahkan.

Terkadang, berdasarkan perbincangan dengan kawan-kawan pemerhati sepakbola nasional, kerusuhan-kerusuhan yang terjadi di lapangan selalu diawali orang orang yang tidak jelas siapa pelakunya. Sebagai contoh ketika terjadi kerusuhan di Madiun, baik Aremania dan Laskar Sakera (pendukung Persekabpas Pasuruan) tidak tahu menahu siapa yang memulai melempari batu-batu ke arah penonton. Tetapi karena yang hadir di stadion saat itu adalah Aremania dan Laskar Sakera, tentu pada akhirnya bentrok fisik tidak dapat dihindari. Efek pasca kejadian hari itu adalah banyaknya toko-toko yang tutup di Madiun, image PT Bentoel Arema Tbk juga tercoreng, dan entah mengapa beberapa hari sesudahnya media massa begitu laku di pasaran.

Begitu pula yang terjadi saat kerusuhan Bonek di Stadion Gelora 10 November di Surabaya beberapa tahun lalu. Dimana mau tidak mau Aremania harus mengakui bahwa kemenangan PS Arema atas Persebaya Surabaya hari itu cukup kontroversial, ada kesan wasit memihak Arema. Kemenangan 2-1 untuk Arema pun harus dibayar mahal dengan perusakan stadion dan beberapa fasilitas umum beserta kendaraan pribadi oleh Bonek yang menonton hari itu.

Begitu banyaknya tangan-tangan tak terlihat yang bermain-main diatas konflik suporter tentunya harus diwaspadai oleh Aremania maupun Bonek. Jangan sampai begitu banyak orang mati sia-sia saat pertempuran kedua suporter tersebut ternyata hanya menjadi ‘mainan globalisasi’ oleh segelintir orang yang ingin mengambil keuntungan didalamnya. Untuk itulah perlunya melihat kembali sejarah konflik antar kedua elemen suporter ini, supaya kejadian-kejadian negatif dapat diminimalisir dan era baru yang lebih damai dapat tercipta.

Kultur masyarakat Jawa yang melingkupi konflik Aremania-Bonek seharusnya bukan menjadi kambing hitam atas berbagai peristiwa yang terjadi. Sudah seharusnya dua elemen suporter yang sudah dikenal akan militansinya ini berdamai dan menciptakan suasana kondusif dalam persepakbolaan nasional. Sudah saatnya baik Aremania maupun Bonek untuk mendewasakan diri dengan melihat dari kacamata modernisasi dan sportivitas dalam mendukung tim kesayangannya. Tidak ada salahnya Bonek turut bergabung dalam usaha mewujudkan suporter Indonesia damai, sehingga mampu membuat suasana stadion begitu damai dan orang tidak perlu takut untuk menyaksikan secara langsung pertandingan sepakbola di tanah air.



“Cita-cita saya, pagar besi pembatas tribun dengan lapangan nanti tidak perlu ada lagi. Jadi kita menonton sepakbola dengan enak, tidak ada perkelahian, tidak ada suporter yang mengganggu pemain. Saya juga ingin semua golongan bisa bersatu di sini. Kaya atau miskin, laki-laki atau perempuan, Cina atau bukan Cina, pejabat atau orang biasa, Islam atau Kristen, di sini semuanya bisa sama,”

 Suporter Club Ligina Yang Dibenci
Persija10046.73%
Persebaya4721.96%
Persib5525.70%
Lain - lain125.61%
Voters: 214. You may not vote on this poll