Senin, 26 Maret 2012

Arema dan Nomor Keramatnya



Masalah mengeramatkan nomor punggung pemain dalam sebuah tim olahraga bukanlah sesuatu yang aneh. Di sepakbola kita mengenal AC Milan yang mempensiunkan nomor punggung 3 yang dipakai oleh Keluarga Maldini(Paolo dan Cesare Maldini) dan nomor punggung 6 yang dipakai Franco Baresi selama 20 tahun(1977-1997). Di Asia Tenggara klub seperti Hoang Anh Gia Lai(HAGL) mempensiunkan nomor punggung 13 yang pernah dipakai oleh legenda Thailand, Kiatisuk Senamuang. Sejauh ini HAGL adalah satu-satunya klub di Asia Tenggara yang mempensiunkan salah satu nomor punggung pemainnya dan tidak dipakai lagi oleh generasi pemain berikutnya.

Urusan mengeramatkan nomor punggung pemain, ternyata bukanlah mutlak digunakan di sepakbola saja. Di dunia basket seperti liga bola basket terglamour sedunia, NBA memiliki beberapa klub yang mempensiunkan nomor punggung satu atau bahkan beberapa pemainnya. Chicago Bulls misalnya, klub basket yang bermarkas di United Center ini bahkan mempensiunkan 4 nomor punggung dari kostum timnya. Yang paling terkenal adalah nomor punggung 23 milik legenda NBA, Michael Jordan dan 33 milik tandemnya selama aktif bermain dan menghasilkan dua three peat(sebutan bagi klub yang meraih tital juara NBA selama 3 musim kompetisi berturut-turut), Scottie Pippen.

Umumnya masalah nomor keramat dalam tim ini bukanlah urusan mudah. Selain dibutuhkan dedikasi sang pemain itu sendiri juga bergantung pada tradisi klub. Siapa pula yang meragukan dedikasi Paolo Maldini yang 25 tahun bermain di AC Milan dan tanpa sekalipun berpindah klub hingga akhirnya sang presiden klub yang juga Prime Minister Italia, Silvio Berlusconi sangat berterima kasih dengan dedikasi mantan kapten klubnya tersebut. Namun, jangan melupakan juga peran Raul Gonzales di Real Madrid sejak tahun 1994-2010 hingga Gary Neville, sisa-sisa dariClass Of 1992 dari Manchester United bersama Paul Scholes dan Ryan Giggs tak juga berujung pada anugerah pemensiunan nomor punggung yang kerap dipakainya.

Di Real Madrid sosok Raul Gonzales ibarat Pangeran di Santiago Bernabeu. Prestasi dari kompetisi lokal hingga internasional sudah pernah ia rasakan. Nomor punggung 7 yang begitu keramat di Real Madrid pun juga seperti ditahbiskan layaknya milik Raul Gonzales seorang. Tanpa mengurangi sedikitpun respek kepada klub sekaliber Real Madrid, untuk mempensiunkan nomor punggung yang pernah dipakai oleh pemain dibutuhkan juga aturan, tradisi dan momen-momen spesial yang melibatkan klub beserta komponennya.

Momen-momen itu terkadang bermakna decak kagum dan respek yang mendalam kepada penerima anugerah berupa nomor yang dipensiunkan tersebut. Otomatis pula sejak dipensiunkannya nomor punggung si pemain, dengan sendirinya nomor begitu begitu sakral dan tidak sembarangan untuk dipakai. Contohnya nomor punggung 3 di AC Milan yang didedikasikan untuk keluarga Maldini. Artinya, hanya keturunan dari keluarga Maldini yang berkiprah di klub tersebut yang bisa memakai nomor punggung 3. Lain dari itu tidak. Harap maklum saja 6 dari 7 titel Liga/Piala Champions diraih dengan bantuan Keluarga Maldini. Luar Biasa!

Sebaliknya pensakralan nomor punggung pemain dan mempensiunkannya nomor tersebut terkadang juga terjadi pada momen khusus. Seperti yang terjadi pada nomor punggung 23 di Manchester City. Klub rival sekota dari Manchester United ini mempensiunkannya sebagai bentuk penghormatan kepada Alm Marc Vivian Voe yang meninggalkan ketika melakoni Piala Konfederasi 2003 bersama Kamerun, Miklos Feher dengan nomor punggung 29 di Benfica(Portugal) dan Antonio Puerta dengan nomor punggung 16 yang bermain bersama tim Sevilla di Spanyol.

Meski klub seringkali mengeramatkan nomor-nomor tertentu yang ditujukan bagi penghargaan dari dedikasi pemain, namun ada juga nomor "tak lazim" namun beberapa waktu belakangan ini menjadi trend. Nomor 12 misalnya, klub-klub sepakbola di Jepang sebagian besar mengeramatkan nomor ini dan tidak ada satupun pemain yang menggunakannya. Nomor ini ditujukan kepada Suporter sebagai rasa terima kasih atas dukungan yang selama ini diberikan kepada tim. Suporter ini pula yang kerap disebut sebagai The Twelve Man. Selain banyak klub di dunia yang menggunakannya, di Indonesia klub Persija mendedikasikan nomor punggung 12 kepada suporternya, The Jakmania. Sayangnya di Indonesia kerapkali nomor punggung 12 dikonotasikan sebagai bagian dari trio pemain ke 12-14 yang ditujukan oleh perangkat pertandingan(wasit dan 2 hakim garisnya). Biasanya kerap dilontarkan oleh klub yang merasa dirugikan oleh korps baju hitam setelah menyelesaikan pertandingan sepakbola.

Bicara mengenai Arema, memang seluruh stakeholder Arema tidak pernah mengungkap secara eksplisit mengenai nomor keramat. Namun meski secara resmi Arema tidak pernah mengungkapkannya, ada beberapa fakta menarik tentang nomor-nomor legendaris yang berkaitan di dalam tim Arema diantaranya :

2
Beberapa pemain Arema yang pernah menggunakan nomor ini pernah dicap sebagai "pemain nakal namun cerdik". Beberapa diantaranya adalah Kuncoro, pemain asli Malang yang menempa ilmu dari SSB Kakimas dan terakhir kali bermain di Arema pada musim 2001 bersama Ahmad Junaedi, Bamidelle Frank Bob Manuel, dll. Kuncoro selama bermain di Arema kerapkali menggunakan tackling hingga sikutan didalam merebut bola. Kerapkali tindakan yang dilakukan Kuncoro bisa lolos dari pengamatan wasit dan hakim garisnya. Namun sepandai-pandainya tupai melompat dan akhirnya jatuh juga, sekali dua waktu Kuncoro kepergok juga dan tidak jarang mendapat hukuman dari wasit berupa kartu kuning hingga kartu merah! Satu pemain lagi yang pernah mendapatkan julukan serupa adalah Alex Pulalo yang bermain di Arema sejak 2005-2009. Alex yang pernah menjadi kapten Arema pernah mendapat sebutan sebagai pemain "nakal". Meski tidak "sekasar" Kuncoro, Alex Pulalo kerapkali melancarkan tackling yang berujung pada hukuman kartu dari pengadil lapangan. Dengan tinggi badan yang dibawah 172cm Alex Pulalo memiliki akselerasi dan kecepatan yang mumpuni dan dapat diandalkan. Kehadirannya bersama Erol Iba di sektor sayap kerap membahayakan pertahanan pemain lawan. Dari sektor sayap ini pula seringkali terlahir skema penyerangan Arema yang berujung gol. Pendeknya baik Alex Pulalo maupun Kuncoro kehadirannya seakan memberikan ancaman bagi pemain lawan, Jangan Remehkan Arema Bung!

3
Saat ini nomor punggung 3 di skuad Arema arahan Miroslav Janu ditempati oleh Zulkifli. Tapi tahukah Anda jika nomor ini kerapkali membawa hoki pemain yang membawanya. Dua pemain yang pernah memakai nomor punggung ini diantaranya adalah Aji Santoso dan Erol Iba. Aji Santoso memperkuat tim Arema sejak tahun 1987-1995 dan dilanjut pada tahun 2002-2004. Sedangkan Erol Iba menggunakannya sejak tahun 2004-2006. Kesamaan diantara 3 pemain diatas adalah sama-sama pernah merasakan gelar juara bersama Arema(Aji Santoso dengan Liga Galatama 1992/1993, Erol Iba mendapat Juara Divisi I 2004, dan Copa Indonesia 2005, 2006 serta Zulkifli dengan gelar ISL 2009/2010). Ketiga pemain tersebut juga merasakan pertama kali memperkuat Timnas Senior Indonesia setelah sebelumnya memperkuat Arema bersama nomor punggung 3 tersebut. Satu perbedaan yang menonjol adalah baik Aji Santoso dan Erol Iba pernah "berkhianat" dengan menyeberang ke seteru Arema, Persik dan Persebaya. Tentu saja Aremania sendiri tidak akan mengharapkan Zulkifli mengikuti jejak seniornya tersebut.

4
Musim ini nomor punggung 4 jarang ditampilkan ketika Tim Arema melakukan kickoff pertandingan. Di dalam sejarah Arema, pemain yang bernomor punggung 4 biasanya berposisi sebagai stopper atau bek tengah. Salah satu pemain diantaranya adalah Charis Yulianto. Pemain yang pernah bermain bagi klub PSM Makassar, Persib Bandung, Persija Jakarta dan Sriwijaya FC pertama kali mengawali karir professionalnya bersama Arema. Musim pertama Charis Yulianto bersama Arema adalah ketika menjadi debutan sukses dimusim 1996/1997 setelah sebelumnya menjadi bagian dari proyek Timnas PSSI Baretti bersama Trimur Vedayanto, Aris Indarto, dkk. Total Charis membela Arema selama 6 musim dan turut serta mengantarkan Arema ke babak 8 besar Divisi Utama selama tiga kali beruturut-turut di tahun 2000-2002 serta 12 besar Divisi Utama di tahun 1996/1997 di Ujung Pandang(kini Makassar). Charis Yulianto terakhir kali bermain bersama Arema di musim kompetisi 2002, dan oleh pelatih Daniel Rukito didapuk sebagai kapten tim.

7
Saat ini Benny Wahyudi menjadi tulang punggung tim Arema sebagai bek sayap dan menggunakan nomor punggung 7 ini. Selain ada Benny, ada beberapa pemain legendaris lain yang pernah memperkuat Arema, Mecky Tata dan Ahmad Junaedi. Mecky Tata mengantarkan Arema menjadi kampiun Galatama 1992/1993 dan runner up Piala Liga 1992. Sementara itu prestasi individunya bersama Arema terjadi pada Liga Galatama 1988/1989 dan berhasil meraih gelar top scorer Galatama dengan torehan 19 gol yang menyamai penyerang Bandung Raya, Dadang Kurnia. Sejak memperkuat Arema Mecky Tata sudah pernah merasakan duet dengan beberapa penyerang Arema seperti Joko Susilo, Singgih Pitono, Nelson Leon Sanchez, dll. Mecky Tata mengakhiri kiprahnya bersama Arema di musim kompetisi Liga Indonesia V 1999. Berbeda dengan Mecky Tata yang sudah pensiun dan menjalani karir kepelatihan, Ahmad Junaedi masih aktif di dunia sepakbola dan membela Persipro Probolinggo di Divisi Utama. Barangkali karena memang Ahmad Junaedi sendiri asli dari Probolinggo meski sudah melalang buana di pentas sepakbola Indonesia bersama PKT Bontang, Persebaya, Persema dan Arema Malang. Karir Ahmad Junaedi di Arema hanya berlangsung setahun dan sempat menorehkan kenangan manis berupa torehan 15 golnya dan membantu Arema ke babak 8 besar Liga Indonesia VII di Makassar. Akhir karir Ahmad Junaedi berlangsung pahit. Ia bergabung dengan klub seteru Aremania dan Arema yaitu Persebaya dengan nilai transfer 125-175juta rupiah(ketika itu kontrak Ahmad Junaedi baru menyisakan durasi sekitar setahun).

8
Dominggus Nowenik dan Nanang Supriadi adalah dua diantara pemain legenda yang pernah memperkuat Arema dan memakai nomor punggung 8. Jika Dominggus pernah mendapatkan titel juara di event Galatama, sebaliknya Nanang Supriadi harus berpuas diri dengan titel Juara Divisi I tahun 2004. Namun perjuangan Nanang bersama Arema tidaklah cukup sampai disitu. Lebih dari 10 musim bersama Arema, Nanang yang lama tinggal di Jl Sumpil di Kota Malang 3 kali mengantarkan Arema ke babak 8 besar Divisi Utama dan sekali di babak 12 besar pada tahun 1997. Tak cukup sampai disitu Nanang pernah membuat hat trick gol kala Arema melakoni laga kandang di Divisi 1 pada tahun 2004. Sesuatu yang jarang dilakukan oleh pemain Arema yang berposisi sebagai gelandang tentunya.

9
Nomor 9 di berbagai belahan dunia identik dengan striker. Begitu pula di Arema yang terdapat beberapa pemain yang selalu berada di depan barisan depan. Meski di Arema terdapat Panus Korwa yang memakai nomor punggung 9 dan berposisi sebagai gelandang menyerang tapi sebagian besar pemain Arema bernomor punggung 9 berposisi sebagai striker. Jika sekarang ini terdapat Roman Chmelo, maka dekade lampau terdapat juga nama seperti Joko Susilo, meski sempat beralih ke nomor punggung 10. Peran Joko Susilo di Arema tidak dapat dipandang sebelah mata. Bersama Nanang Supriadi turut mengisi barisan pemain muda Arema. Dari kiprah Joko Susilo di era Liga Indonesia bersama Arema, praktis hanya di musim 1997/1998 saja ia absen membela Arema karena bergabung bersama Persija Jakarta. Namun di musim berikutnya ia kembali bersama Arema dan setahun kemudian mengantarkan Arema ke babak 8 besar Liga Indonesia selama 3 musim berturut-turut. Joko Susilo kini menjadi asisten pelatih Arema sejak tahun 2007 dan turut mengantarkan tim U-18 Arema ke tangga juara Piala Suratin tahun 2007 bersama trio pelatih Yanuar Hermansyah dan Alm Setyo Budiarto.

11
Nomor 11 di Arema kerapkali dipandang memiliki kontribusi penting di Arema. Jika sekarang nomor ini dipakai Tommy Pranata, beberapa tahun lalu pemain yang memakai nomor ini seringkali dijadikan pujaan oleh suporternya, termasuk Aremania. Dua diantara pemakai nomor ini adalah Jonathan dan Johan Prasetyo. Jonathan adalah pemain asli didikan klub amatir Satria yang notabene anggota kompetisi internal Persema, sedangkan Johan Prasetyo meski bergabung selama semusim di tahun 2002 yang dilatih Daniel Rukito berasal dari Diklat Salatiga bersama Suswanto. Diklat Salatiga sendiri seringkali melahirkan pemain berbakat di Indonesia, misalnya Bambang Pamungkas. Jonathan sendiri berposisi sebagai kiri luar Arema atau sekarang kadang disebut sebagai pemain sayap kiri. Jonathan juga turut membantu Arema untuk melaju sampai babak 12 besar Piala Champions Asia 1993/1994. Sementara Johan Prasetyo sendiri berhasil mencetak 14 gol selama memperkuat Arema dan membantu Singo Edan untuk maju ke Babak 8 besar di Gresik.

14
Siapa yang tak kenal I Putu Gede? Pemain yang awalnya membela Mitra Surabaya sepebelum bergabung dengan Arema ini pernah begitu dekat dengan Malang dan Aremania-nya. Selain memiliki tempat tinggal yang dekat dengan wilayah Mangliawan di pinggiran Malang, I Putu Gede total menghabiskan lebih dari 5 musim di Arema dan sempat menjadi kapten tim pada tahun 2004-2006. Sayang kiprah I Putu Gede tidak semanis kelihatannya, meski semasa di Arema menjadi pujaan Aremania dan lihai mengatur lini tengah Arema bersama Firman Utina, Anthony Jommah Ballah atau Joao Carlos. Sama dengan Ahmad Junaedi selepas mengundurkan diri jelang persiapan Liga Indonesia XIII ia "membelot" dan memperkuat Persebaya di musim berikutnya. Uniknya sama dengan Ahmad Junaedi seakan mendapat kutukan, klub yang dibelanya tersebut mendadak jeblok prestasinya karena konflik internal dan terjerembab degradasi. Kini bersama Ahmad Junaedi, I Putu Gede membela Persipro Probolinggo.

16
Salah seorang pemain hebat Arema yang pernah memakai nomor kostum ini adalah Singgih Pitono. Ia ditemukan manajemen Arema Indonesia di akhir dasawarsa 80-an setelah blusukan ke Tulungagung untuk mencari bakat terpendam guna ditampilkan di ajang Galatama. Singgih Pitono 2 kali menjadi top skorer Galatama yaitu pada Galatama XI tahun 1991/1992 dengan torehan 21 gol, Galatama XII tahun 1992/1993 dengan 16 gol. Selain itu ia mampu menempatkan diri sebagai top skorer tim pada Liga Indonesia I di tahun 1994/1995 dengan 14 gol. Dengan perolehan tersebut maka layaklah Singgih Pitono dianugerahi "award" sebagai penyerang/striker terbaik yang dimiliki oleh Arema Indonesia. Singgih Pitono hadir di bumi Arema dan memperkuat tim yang diidolai hampir penggemar sepakbola di seantero Malang selama lebih dari 7 tahun. Kiprah terakhir Singgih Pitono bersama Arema Indonesia adalah pada Liga Indonesia II 1995/1996. Selepas membela Arema, Singgih Pitono sempat memperkuat Pusam Samarinda selama beberapa musim dengan salah satu partnernya di Arema sekaligus "mantan musuhnya" dulu, Lulut Kistono(Fyi, ketika memperkuat Arema, Singgih Pitono pernah mendapatkan skorsing 1 tahun ketika mengikuti Galatama edisi terakhir, 1993/1994 akibat perkelahian yang diprovokatori terlebih dahulu oleh Doyok, panggilan akrab Lulut Kistono).

17
Tribute kepada Alm Setyo Budiarto. Meski hanya sekitar 6 tahun membela Arema namun kita tak mudah melupakan jasanya. Setyo Budiarto mulai bermain di Arema bersamaan dengan masuknya Charis Yulianto sebagai pemain muda yang sebelumnya bergabung bersama Timnas PSSI Baretti. Diantara kiprah Alm Setyo Budiarto tersebut salah satu prestasi fenomenalnya adalah ia menjadi tumpuan beberapa pelatih Arema untuk menguasai sektor lini tengah. Praktis mulai dari era kepelatihan Suharno, Winarto, M. Basri, Daniel Rukito hingga Gusnul Yakin Setyo Budiarto bagu membahu bersama pemain tengah Arema lainnya seperti Kuncoro, I Putu Gede, Nanang Supriadi, dan bantuan pemain sayap seperti Miftachul Huda, Wawan Widiantoro hingga Khusnul Yuli. Karir Setyo Budiarto bersama Arema berakhir pada akhir tahun 2003 ketika Almarhum bersama Joko Susilo memutuskan pensiun. Selepas pensiun Setyo Budiarto tidak serta merta meninggalkan Arema. Bersama Joko Susilo dan eks kiper Arema, Yanuar "Begal" Hermansyah dan komando dari manajer Arema U-18 Ekoyono Hartono turut memperoleh gelar Piala Suratin 2007 setelah menyelesaikan pertandingan final di Stadion Bea Cukai Rawamangun melawan Persimuba dari Musi Banyuasin.

Sebenarnya masih banyak nomor-nomor keramat lain di Arema yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu disini. Sebut saja nomor satu yang langganan para kiper seperti Nanang Hidayat, Agung Prasetyo hingga era Kurnia Meiga sekarang ini. Bahkan di era Galatama dan awal Liga Indonesia nomor punggung untuk kiper Arema adalah 1, 20 dan 21. Selain itu terdapar juga nomor punggung 15 seperti yang dipakai oleh mantan Kapten Arema Sunardi C dan Firman Utina yang sekarang membela Sriwijaya FC. Nomor 24 juga jadi langganan pemain yang "diidolai"oleh Aremania seperti Juan Rubio dan Pierre Njanka, Nelson Leon Sanchez pun ketika berkostum Arema memakai nomor kostum 30.

Dan tahukah Anda, ketika awal kali bermain di Arema Erol Iba tidak langsung mendapatkan nomor punggung 3 yang menjadi nomor yang diidolainya. Setidaknya ia harus menunggu lungsuran nomor kostum 1+2 alias 12 sebelum Aji Santoso pensiun dari Arema. Namun diantara itu tetap tidak ada yang bisa mengalahkan nomor keramat 87. Nomor ini tidak hanya dipakai dikalangan Arema dan Aremania, misal sebagai bagian dari nama Korwil, website, blog, dan sebagainya namun juga identitas dari Arema secara keseluruhan. Angka 87 ini diambil dari kependekan tahun kelahiran Arema 1987. Kehadiran angka 87 ini juga terdapat di dalam stadion dan digunakan sebagai "hukum Arema" untuk mencegah aksi anarkis dan brutal ketika terdapat pertandingan sepakbola, terutama ketika Arema bermain. Pendeknya angka 87 ini melambangkan peranan positif didalam membangun Arema dan Aremania itu sendiri. Semoga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar